Senin, 14 November 2022

Sarasehan: Menyambut ADVEN & NATAL 2022


(1).Makna Kemuliaan dalam Alkitab

Kata "kemuliaan" mempunyai banyak makna. Kata ini dalam Alkitab merujuk pada 3 hal, yaitu kemuliaan alam, manusia dan Allah. Kemuliaan yang merujuk pada alam dapat kita lihat misalnya Maz. 19: 2-3; 138:5; Yes. 35:2; 60:13; 1 Kor. 15:41.

Adapun yang merujuk pada manusia biasanya mengacu pada sejumlah manifestasi eksternal dan kondisi seperti posisi/ jabatan, harta, kelimpahan, kekuatan, atau panjang umur, juga mengacu pada aspek karakter internal dan kondisi yang melekat pada sifat manusia (Kej. 31:1; Kej. 45:13; Kej. 31:1; Bil 27:20; 1 Sam. 4:18; Maz. 21:6; Amsal 20:29).

Sedangkan kemuliaan yang merujuk kepada Allah berbicara tentang kemuliaan yang Allah miliki dan juga pengakuan akan kemuliaan Allah, misalnya Kel. 15:7; Kel. 16:10; Maz. 145: 11-12; Maz. 79:9.

Kemuliaan Allah tersebut merupakan manifestasi eksternal dari keberadaan-Nya, yang muncul (Kel. 16:10), terungkap (Yes. 40:5), atau dapat dilihat oleh manusia (Bil. 14:22).

Kemuliaan yang tampak tersebut bersumber dari yang internal, yang terdalam ada dalam diri Allah yang pada hakikatnya adalah mulia (Kel. 33:18-23).

Dalam sejarah keselamatan kita melihat bagaimana Allah yang Maha Mulia menyatakan kemuliaan-Nya (Kavod – bhs. Ibrani) melalui kehadiran-Nya (Shekinah – bhs. Ibrani) di sepanjang perjalanan kehidupan bangsa Israel. Kata kemuliaan juga mengandung makna keindahan, keagungan, semarak (kata Ibrani: Hadar - Maz. 12:6).

Padanan kata Ibrani Kavod dalam bahasa Yunani ialah Doxa, yang arti harfiah adalah "pendapat, reputasi". Dalam pemakaiannya di Alkitab Perjanjian Baru kata ini digunakan dalam makna "kemuliaan/ glory" (Luk. 2:9).

 

(2). Kemuliaan Manusia Natal

Kemuliaan Allah dalam Perjanjian Lama selalu dikaitkan dengan sosok yang hebat, yang dapat memunculkan hal-hal yang menakjubkan dan kekuatan yang luar biasa. Kemuliaan yang seperti itu hanya dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang tertentu saja, misalnya para nabi. Selain itu, kemuliaan Tuhan juga menampakkan sesuatu yang mendatangkan kengerian (Ul. Masa Adven Natal 2022 3 5:24). Dalam semua itu sebenarnya kemuliaan Allah merupakan sebuah bukti kehadiran-Nya di tengah umat-Nya.

Kehadiran Allah ("Shekinah”) tersebut mencapai puncaknya melalui kehadiran Yesus Kristus. Ia adalah inkarnasi Allah di bumi. Ia adalah Manusia Natal. Allah yang Mahatinggi telah berkenan turun ke dalam dunia demi keselamatan manusia. Di dalam inkarnasi tersebut kita bisa melihat kemuliaan dan keagungan Allah yang berpusat pada kasih. Melalui kelahiran dan kehadiran Yesus Kristus ke dalam dunia, kita menjadi bisa mengenal Allah secara lebih dekat. Tuhan Yesus berkata, "Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yoh. 14:9b; Yoh. 1:14). Ibrani 1:3 menyatakan, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kuasa.”

Yang menarik atau unik dari kemuliaan Allah dalam inkarnasi-Nya sebagai manusia natal adalah bahwa kemuliaan tersebut adalah dalam perendahandiri-Nya. Filipi 2: 6-8 menyatakan, Yesus Kristus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Istilah “dalam” (rupa Allah) berasal dari kata Yunani huparchon, artinya “menjadi ada” atau “keberadaan”. Kata tersebut memiliki bentuk partisipel yang berarti “Kristus itu dahulu ada di masa lampau dan terus menunjukkan keberadaannya di masa kini.”

Jadi, sebelum logos/firman itu menjadi manusia, maka Ia adalah Allah. Dan setelah logos (firman) itu menjadi manusia, Dia pun tetap Allah. Namun keberadaan-Nya sebagai Allah itu tidak berusaha untuk dipertahankan, tapi Ia rela mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

 

Kata “mengosongkan diri” (kenosis) berasal dari kata Yunani “ekenoken,” dari kata kerja “keneo,” artinya “mengosongkan.” Kata tersebut mempunyai arti “membuat dirinya sendiri menjadi seakan tidak punya apa-apa”. Kata tersebut tidak berarti “bukan sama sekali tidak memiliki apa-apa 4 Masa Adven Natal 2022 lagi.”

Dengan demikian, sifat-sifat Ilahi itu masih ada dalam diri Yesus, tetapi Ia tidak mempergunakan sifat itu, termasuk manifestasi kemuliaan yang menyertainya. Ia menahannya sehingga manusia tidak dapat melihatnya. Yesus Kristus adalah tetap Allah, tetapi Allah incognito (without being known, tanpa dikenal/diketahui atau dalam penyamaran /in disguise atau dengan identitas yang tersembunyi/with identity concealed).

Dengan kata lain, Yesus Kristus tidak memperlihatkan sifat keilahian-Nya. Allah menjadi manusia terjadi karena Dia tidak memanifestasikan keilahian[1]Nya, namun demikian sifat keilahian dan kemuliaan-Nya tetap ada. Di dalam diri Yesus “berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan" (Kolose 1:19, 2:9).

Oleh karena itu wajar ketika Ia melakukan banyak mujizat (Mat. 11:1-5). Dalam proses yang seperti itulah yang menjadikan Yesus bisa dilahirkan menjadi “sama seperti manusia” serta merasakan pengalaman hidup manusia. Bahkan, “…dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib” (Fil. 2:8).

Dalam konteks Masa Adven, kita diajak untuk tidak lagi hanya menantikan Yesus Kristus sebagai seorang manusia belaka, melainkan "penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juru Selamat kita

Yesus Kristus" (Tit. 2:13, 2 Pet 1:1). Yesus Kristus adalah Alfa dan Omega, yang pertama dan yang terkemudian. Yesus Kristus, Sang Pribadi, tidak pernah memiliki awal. Ia adalah Realitas absolut.

Ia memiliki kehormatan yang tidak tertandingi dan kemuliaan yang unik sebagai yang pertama ada dan selalu ada.

 

(3). Implikasi Kemuliaan Manusia Natal

Dari uraian di atas kita mendapati bahwa makna kemuliaan dalam konteks inkarnasi Allah adalah bahwa kemuliaan itu ada dalam kesederhanaan, yaitu dalam peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Ini hendak mengingatkan kita bahwa hal yang paling utama dari kemuliaan dalam hidup ini bukanlah dari apa yang tampak secara lahiriah tetapi yang ada di dalam hati manusia yang memancarkan kemuliaan Tuhan. Yesus Kristus telah memberikan teladan kepada kita bahwa kemuliaan itu tidak perlu ditonjol[1]tonjolkan, tidak perlu didemonstrasikan.

Dalam Masa Adven Natal ini kita pun diajak untuk melihat dan menikmati kemuliaan yang sudah Allah nyatakan dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Kemuliaan yang ada pada Yesus, yang melekat pada-Nya, yang terpancar dari diri-Nya dan yang berlaku pada-Nya adalah kemuliaan Allah.

Melalui Yesus Kristus kita dapat melihat seperti apakah Allah itu. Yohanes 1:14 menyatakan, “… dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa. Kata “melihat” dalam ayat tersebut berasal dari kata Yunani “theasthai”, artinya “melihat dengan mata kepala’, bukan melihat secara rohani atau dengan mata iman.

Jadi,  jika  ada orang yang melihat  Yesus dengan  tanpa  mata iman pun akan  mengakui bahwa Yesus bukanlah manusia biasa. Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan (Mat. 11:5).

Yesus Kristus adalah Imanuel: Allah menyertai kita (Mat. 1:23). Lambang pemerintahan ada di atas bahunya. “Namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. ... karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran.” (Yes. 9:6-7).

Kemuliaan yang Kristus miliki tersebut bukan untuk diri[1]Nya sendiri. Ia berkenan memancarkannya kepada kita para murid-Nya. Oleh karena itu sudah semestinya kita memancarkan kemuliaan Kristus dalam hidup sehari-hari, sehingga biarlah orang lain bisa melihat Yesus yang hidup dalam diri kita.

Dengan demikian kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia menjadi sungguh-sungguh nyata sampai saat ini. Untuk bisa memancarkan kemuliaan Tuhan dalam diri kita yang adalah karunia Tuhan itu, Surat Titus mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak hanya memberikan keselamatan kepada kita. Ia pun berkenan mendidik kita supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah kepada Tuhan. Kita diajak untuk menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan

Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus. Kita dipanggil untuk memberitakan kasih  karunia Allah dalam Kristus Yesus, menasihati dan meyakinkan orang dengan segala kewibawaan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita (Tit. 2:11-13).  Kepada setiap orang yang mau melakukan semua itu Kitab Yesaya menyatakan, "Betapa indahnya kelihatan kedatangan pembawa berita yang mengabarkan damai dan memberitakan kabar baik" (Yes. 52:7) Yohanes 1 ayat 14 juga mengingatkan kita bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang penuh kasih karunia dan kebenaran. Ada banyak kasih karunia yang telah Ia berikan dan terus sediakan untuk menolong kita dalam memancarkan cahaya kemuliaan-Nya. Dia pun adalah Sang Kebenaran dan Hidup. Di dalam dan bersama dia kita bisa hidup dalam kebenaran. Kebenaran di sini bukan sekadar kebenaran yang diucapkan, tetapi juga adalah kebenaran yang dinyatakan melalui perbuatan (aletheia) Yoh. 1:15-17.

 

Di dalam dunia yang kompleks dengan berbagai persoalan saat ini kita diajak untuk mengalahkan narsisme, keinginan untuk dipuji karena kepemilikan (wajah, harta, jabatan), rasa gengsi kalau tidak hebat/menonjol seperti orang lain, rasa tidak mau kalah dari orang lain, dan keinginan untuk menghalalkan segala cara agar menang dalam persaingan dalam berbagai bidang kehidupan. Jadi, meski misalnya kita tidak berstatus sosial ekonomi tinggi, tetapi kita bisa menjadi “orang yang mulia” ketika sikap hidup kita memancarkan kemuliaan Tuhan.

Meski misalnya kita adalah orang percaya yang tidak hebat dalam karier, hanya menjadi pegawai level rendah, namun ketika jujur, bekerja dengan rajin dan penuh tanggung jawab, serta ramah, maka kemuliaan Tuhan akan terpancar dalam diri orang tersebut. Setiap kita sebagai umat Tuhan dipanggil untuk menampakkan kemuliaan Allah dalam diri kita, yaitu melalui hidup, kerja dan pelayanan yang memancarkan kuasa Allah yang sarat dengan kasih terhadap semua orang tanpa pandang bulu. Rasul Paulus berkata, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31).

 

(4).Refleksi Diri

·       Apakah yang dipikirkan oleh orang lain ketika mereka melihat kehidupan kita?   Apakah mereka melihat kehidupan yang mempermuliakan Allah ataukah yang mempermalukan Allah?   Mari kita melihat kemuliaan Sang Manusia Natal, hidup di dalamnya dan memancarkan kemuliaan[1]Nya dalam hidup sehari-hari kita. Amin.

(Ed.  By LES)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar