Kamis, 13 Oktober 2022

DINAMIKA HIDUP KELUARGA-KELUARGA KRISTEN


 


DINAMIKA  HIDUP  KELUARGA-KELUARGA  KRISTEN

a.       Pernikahan Gerejawi Bukanlah Sebuah Permainan Sulap

Orang seringkali berpikir bahwa jikalau sudah diberkati di gereja maka segalanya akan beres. Semuanya akan berjalan dengan lancar dan baik. Padahal pada kenyataannya, tidak setiap orang yang nikahnya diberkati di gereja hidupnya bahagia. Ada yang justru tidak bahagia bahkan hancur rumah tangganya. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa semua ini terjadi? Jawabnya adalah karena pemahaman yang salah tentang Ibadah Peneguhan Pernikahan dan Pemberkatan Perkawinan. Pernikahan gerejawi seringkali dianggap sebagai sulap yang sekali diucapkan lalu ada perubahan. Pada kenyataannya perkawinan gerejawi adalah sebuah keputusan dan komitmen sepasang insan manusia yang dengan sengaja membuka diri untuk melibatkan Tuhan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka membuka diri bagi kehadiran Kristus sebagai pusat kehidupan keluarga mereka.

 .

Komitmen untuk sehidup semati, dalam suka dan duka yang mereka ucapkan dalam pernikahan gerejawi harus terus menerus dipegang dan diupayakan oleh masing-masing dengan bersandar pada kekuatan dan berkat yang dari Tuhan. H. Norman Wright menyebutkan ada 14 komitmen dasar yang perlu disadari, dilatih terus menerus dan dipegang teguh serta diwujudnyatakan dalam kehidupan pernikahan. Keempat belas komitmen dasar tersebut adalah komitmen untuk menikah, untuk lepas dari masa lalu, untuk mencintai, untuk berubah, untuk memahami diri sendiri, untuk mengevaluasi harapan dan membuat sasaran, komitmen untuk membuat keputusan yang bijaksana, untuk berkomunikasi, untuk mendengarkan, untuk memegang pedoman komunikasi yang baik dan benar, untuk menyelesaikan konflik, untuk mengontrol amarah, untuk membangun hubungan yang positif dengan keluarga mertua, serta untuk mengampuni dan berdoa bersama.

 .

Seseorang dapat mewujudkan komitmen-komitmen tersebut jikalau ia membuka diri terhadap kasih dan pertolongan Tuhan. Kita perlu menyadari bahwa kehidupan pernikahan Kristen berbeda dengan bentuk-bentuk kehidupan bersama lainnya. Kehidupan bersama dalam pernikahan Kristen lebih bersifat total, eksklusif / tertutup, kontinyu / terus menerus dan didasari oleh kasih Kristus. Total, artinya suami istri hidup dalam ikatan persekutuan yang mencakup seluruh sendi kehidupan.  Eksklusif, artinya tertutup terhadap relasi intim dengan laki-laki atau perempuan lain. Kontinyu artinya komitmen tersebut dipegang dan diwujudkan secara terus menerus sampai akhir hayat.

 .

b.       Relasi Suami Istri dalam Keluarga Kristen

Tentang relasi suami-istri dalam keluarga, seringkali ada orang yang mencomot ayat-ayat tertentu dalam Alkitab tanpa mencermati konteks ayat-ayat tersebut ditulis. Ini dilakukan seringkali hanya untuk membenarkan sikap superiornya terhadap pasangannya….

 

Padahal sesungguhnya Tuhan menetapkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sejak dari awal penciptaan. Tuhan Yesus sendiri pun dalam pelayanan-Nya selalu menempatkan perempuan sebagai sosok yang berharga, meskipun masyarakat di sekitarnya mempunyai budaya yang sebaliknya.

 .

Rasul Paulus dalam Galatia 3:25-28 menyatakan “Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.“

 .

Kalau kita memperhatikan kisah penciptaan (Kejadian 1 dan 2) kita akan melihat bagaimana Allah menciptakan manusia sebagai mahkluk yang setara. Kej. 1:26-27 menyatakan “… Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka“. Dari ayat ini kita melihat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, meskipun mereka berbeda jenis kelamin. Mereka berdua diberi tanggung jawab yang sama, yaitu untuk bersama-sama menguasai, mengelola dan memanfaatkan bumi beserta segala isinya yang telah Tuhan berikan kepada mereka (ay. 26).

 .

Selanjutnya, Kejadian 2:18  juga bertutur tentang kesetaraan tersebut. Ayat 18 Tuhan berfirman “… Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia“.

Akhirnya Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki (ay. 21-23) untuk menjadi penolong yang sepadan bagi laki-laki.

 .

Dalam hal ini, perempuan bukan pembantu bagi laki-laki. Namun perempuan mempunyai kedudukan yang sama/setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari istilah “penolong“ (ezer - bhs. Ibrani) yang dipakai dalam teks-teks Alkitab. Istilah ini menunjuk pada penolong yang berkarakteristik ilahi, yang menjadi saluran keselamatan bahkan kehidupan.

 .

Dengan penggunaan istilah ini, maka Kejadian pasal 2 hendak mengatakan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang istimewa.. Ia adalah makhluk yang berharga. Sedangkan istilah “sepadan“ menunjuk pada kecocokan dalam perbedaan (kenegeddo, counterpart). Dan istilah “diambil dari tulang rusuk laki-laki“ tidak boleh dimaknai bahwa perempuan diambil dari bagian kecil dari laki-laki. Untuk istilah ini bahasa Ibrani memakai istilah sisi atau bagian samping atau separuh. Dengan demikian, perempuan adalah separuh bagian dari laki-laki. Perempuan diciptakan dari separuh bagian laki-laki sehingga laki-laki harus mengasihinya seperti ia mengasihi dirinya sendiri.

 .

Kesetaraan laki-laki dan perempuan ini harus diwujudkan dalam relasi keduanya dan dalam mendidik anak-anak. Pemeliharaan dan pendidikan anak-anak dalam keluarga Kristen bukan hanya tanggung jawab seorang ibu saja, namun juga tanggung jawab ayah.  Peran kedua orangtua sangat dibutuhkan anak dalam proses pembentukan karakternya secara holistik.

Dengan pemahaman bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berharga di hadapan Allah, maka sepasang suami istri dapat hidup saling menghargai meskipun mungkin tingkat pendidikan, kecerdasan maupun tingkat latar belakang kekayaannya berbeda-beda. Ini semua harus dilakukan karena keduanya mempunyai kedudukan yang setara di hadapan Tuhan.

 .

c.        Keluarga Sebagai Wadah Mencetak Generasi Penerus

Tidak semua pasangan dikaruniai anak kandung. Bahkan ada pasangan yang sengaja tidak ingin punya anak dengan alasan tertentu.

Namun jikalau kita merenungkan kehidupan kita, maka kita akan mendapati bahwa kehadiran “anak“ dalam kehidupan keluarga dapat memperkaya spiritualitas kita. Banyak anak yang terlantar yang membutuhkan uluran tangan kasih kita untuk berbagi kasih. Ketika kita melihat anak-anak kecil, hati kita seakan diarahkan pada tanggung jawab untuk menghantar mereka menuju masa depan mereka.

Oleh karena itu, baik kalau kita menanamkan konsep bahwa keluarga Kristen adalah wadah mencetak generasi penerus, entah itu anak sendiri (kandung) maupun yang bukan. Ini adalah mandat dari Tuhan sendiri seperti yang tertulis dalam Kej. 1:28. Dengan konsep ini kita sadar bahwa kita mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencetak generasi penerus kita di bumi ini. Dan itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

 .

Namun, mendidik anak bukan sesuatu yang mudah. Iklim keluarga yang baik sangat dibutuhkan oleh anak dalam tumbuh kembang mereka. Iklim ini dibentuk melalui relasi orang-orang yang ada dalam keluarga. Sejak anak berusia tiga bulan dalam kandungan, ia sudah bisa merasakan, mendengar dan mengecap stimulus-stimulus yang ia tangkap dari sekelilingnya, baik dari si ibu maupun si ayah dan orang-orang di sekeliling keluarga tersebut. Keharmonisan keluarga sangat dibutuhkan oleh anak dalam tumbuh kembang mereka sejak dari bayi dalam kandungan, dan itu akan berpengaruh pada keseluruhan rangkaian kehidupan seseorang.  Orangtua adalah lapisan pertama dalam pembentukan kerohanian seorang anak.

.

d.       Masing-masing Orang Dalam Keluarga Adalah Unik

Tiap orang adalah unik, termasuk orang-orang yang ada dalam keluarga Kristen: Baik itu Orang tua – anak , Suami – isteri dsb.

 

Keunikan tersebut tidak hanya terkait dengan karakter tetapi juga latar belakang dari suami istri yang ada dalam keluarga tersebut. Dengan sangat gamblang, sebuah buku kursus persiapan pernikahan gerejawi mengetengahkan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak hanya perbedaan fisiologis/biologis/anatomis namun juga perbedaan psikologis.

 .

Walaupun perbedaan psikologis yang dipaparkan di situ tidaklah mutlak, namun kita bisa melihat bahwa masing-masing mempunyai karakter yang harus dipahami oleh anggota keluarga yang lain sehingga dapat saling menghargai dan saling mengembangkannya. Dengan memahami bahwa baik suami, istri maupun anak-anak adalah pribadi yang unik yang mempunyai karakter yang khas, maka diharapkan agar setiap anggota keluarga dapat silih asah, silih asuh dan silih asih.

 .

Untuk dapat hidup bersama dengan baik walau berbeda, dibutuhkan keterbukaan (baik kepada Tuhan maupun kepada orang lain), komunikasi yang baik, maupun kasih harus dikembangkan terus menerus. Komunikasi dapat berjalan dengan baik, jika ada suasana yang mendukungnya, antara lain sikap mau memerhatikan, mementingkan pasangan, mau menyediakan waktu, mau mendengarkan, mau menerima, dan kasih yang tulus. Komunikasi yang baik juga harus didasari dengan doa bersama.

 .

Dalam membicarakan hal-hal yang agak peka, maka lebih baik jika dipakai kata “saya” daripada “kamu”. Dengan menggunakan kata “saya”, kita diajak untuk lebih mengutarakan perasaan kita sendiri, bukan menuduh orang lain. Selain itu, kita perlu menghindari penggunaan kata “selalu” dan “tak pernah”, karena kedua kata ini pasti akan menimbulkan reaksi membela diri dari lawan bicara kita. Agar ada komunikasi yang baik dalam kehidupan keluarga, maka baik kalau setiap hari kita saling mengucapkan sepatah kata manis atau pujian, minimal sekali dalam sehari.

 .

 

e.        Kasih Sebagai Dasar Hidup Keluarga Kristen

Kasih dan iman kepada Kristus harus menjadi dasar bagi kehidupan rumah tangga Kristen.   Kasih yang dimaksud di sini bukan hanya kasih agape seperti yang diteladankan Kristus, tetapi juga kasih eros  dan kasih filia (take and give).

 

Ketiganya harus ada dalam kehidupan rumah tangga Kristen. Kasih eros dan filia dalam praktiknya harus dikendalikan oleh kasih agape dan kasih Tuhan. Jikalau tidak demikian maka hubungan suami istri akan cepat membosankan. Seorang suami atau istri bisa mencari kesenangannya sendiri dan akhirnya tidak setia kepada pasangannya.

 

Kadang orang mengabaikan kasih eros, apalagi jika mereka sedang sibuk mengurusi anak atau semakin menjadi lebih tua. Kesibukan mengurus bayi dan anak-anak balita, kadang menjadikan seorang perempuan menjadi enggan untuk berhubungan seks dengan suaminya. Jikalau suaminya tidak bijaksana dan tidak meletakkan semuanya dalam kasih agape dan kasih Tuhan, maka bisa memunculkan hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu kasih eros juga harus terus dikembangkan, meskipun tidak harus selalu sampai kepada hubungan badan (coitus).

 .

 

f.         Manajemen Ekonomi dan Waktu Dalam Rumah Tangga Kristen

Ekonomi dan waktu bukanlah hal sepele dalam kehidupan rumah tangga, termasuk rumah tangga Kristen. Perlu ada pengaturan dan manajemen yang baik sehingga kebutuhan keluarga, baik kebutuhan material maupun imaterial, tercukupi dengan baik. Orang harus bekerja dengan baik dan mengelola keuangan keluarga berdasarkan pemeliharaan dan pimpinan Tuhan. Kebutuhan yang ada dalam keluarga dibicarakan dan diupayakan secara bersama-sama. Ada keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, sehingga pengeluaran tidak lebih besar dari pada pemasukan.

 

Demikian pula waktu harus dikelola dengan baik sehingga ada keseimbangan antara bekerja dan keluarga. Seringkali orang hanya bekerja dan bekerja dan mengabaikan keluarganya. Padahal uang tidaklah ada harganya jikalau kita dan keluarga kita tidak bahagia. Uang tidak akan bisa membahagiakan kita jikalau tidak ada kasih dan perhatian dalam rumah tangga kita. Uang memang bisa memberikan kebahagiaan. Tetapi uang tanpa kasih hanya akan memberikan kebahagiaan yang semu.

 .

 

g.        Keluarga Kristen adalah Keluarga Yang Beribadah dan Bersosialisasi

Setelah menikah, kadang orang kemudian tidak terlalu peduli dengan ibadah, apalagi kalau sibuk dengan pekerjaan dan mengurus anak-anak. Keluarga menjadi semakin lama semakin jauh dari Tuhan sehingga kebahagiaan pun menjadi semakin jauh darinya.

Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Gallup-Healthways Well-Being. Hasil survey mereka menyatakan bahwa orang yang paling bahagia ialah orang-orang yang rajin beribadah dan mengunjungi rumah ibadah.

 .

Selain beribadah, keluarga Kristen juga mesti bersosialisasi dengan orang-orang / masyarakat di sekelilingnya. Ini tidak hanya untuk mengembangkan kecerdasan sosial kita dan anak-anak, tetapi juga sebagai sarana mengabarkan kabar sukacita. Injil/kabar sukacita yang kita percayai dan hidupi tidak akan dikenal orang lain, jikalau kita tidak pernah berelasi dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita. Romo Mardi Prasetya menyebut ini sebagai dimensi sosial dan dimensi apostolis/kerasulan yang harus dimiliki oleh keluarga Kristen.

 .

Penutup

Tidak ada satu pun keluarga yang tanpa masalah, tanpa perbedaan pendapat dan perselisihan.  Namun semua bisa diselesaikan dengan baik, jikalau Kristus sungguh ada dan dihidupi di dalam rumah tangga Kristen. Dengan hadirnya Kristus dalam rumah tangga kita maka segala persoalan dan hambatan yang dialami dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

 .

Dengan Kristus ada dalam rumah tangga kita, kekerasan tidak akan terjadi dalam keluarga kita. Tuhan Yesus berkata, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).

“Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kolose 3:12).

 LES. 18 Okt 2022

SARASEHAN:

APA & BAGAIMANA  TANGGAPAN  KITA  TERHADAP  POKOK BAHASAN  TSB.  MENGAPA  DEMIKIAN ?  JELASKAN !

BERIKAN USULAN -USULAN  KONKRIT, AGAR  DI  GEREJA  KITA /GKJ PURWOREJO ADA PROGRAM  GEREJA   DALAM  RANGKA  PENINGKATAN  / PEMBERDAYAAN  KELUARGA KELUARGA KRISTEN !   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar