DINAMIKA HIDUP KELUARGA-KELUARGA KRISTEN
a. Pernikahan Gerejawi Bukanlah
Sebuah Permainan Sulap
Orang seringkali berpikir bahwa jikalau sudah diberkati di gereja maka
segalanya akan beres. Semuanya akan berjalan dengan lancar dan baik. Padahal
pada kenyataannya, tidak setiap orang yang nikahnya diberkati di gereja
hidupnya bahagia. Ada yang justru tidak bahagia bahkan hancur rumah tangganya.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa semua ini terjadi? Jawabnya adalah
karena pemahaman yang salah tentang Ibadah Peneguhan Pernikahan dan Pemberkatan
Perkawinan. Pernikahan gerejawi seringkali dianggap sebagai sulap yang sekali
diucapkan lalu ada perubahan. Pada kenyataannya perkawinan gerejawi adalah
sebuah keputusan dan komitmen sepasang insan manusia yang dengan sengaja
membuka diri untuk melibatkan Tuhan dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka
membuka diri bagi kehadiran Kristus sebagai pusat kehidupan keluarga mereka.
Komitmen untuk sehidup semati, dalam suka dan duka yang mereka ucapkan
dalam pernikahan gerejawi harus terus menerus dipegang dan diupayakan oleh
masing-masing dengan bersandar pada kekuatan dan berkat yang dari Tuhan. H.
Norman Wright menyebutkan ada 14 komitmen dasar yang perlu disadari,
dilatih terus menerus dan dipegang teguh serta diwujudnyatakan dalam kehidupan
pernikahan. Keempat belas komitmen dasar tersebut adalah komitmen untuk
menikah, untuk lepas dari masa lalu, untuk mencintai, untuk berubah, untuk
memahami diri sendiri, untuk mengevaluasi harapan dan membuat sasaran, komitmen
untuk membuat keputusan yang bijaksana, untuk berkomunikasi, untuk
mendengarkan, untuk memegang pedoman komunikasi yang baik dan benar, untuk
menyelesaikan konflik, untuk mengontrol amarah, untuk membangun hubungan yang
positif dengan keluarga mertua, serta untuk mengampuni dan berdoa bersama.
Seseorang dapat mewujudkan komitmen-komitmen tersebut jikalau ia membuka
diri terhadap kasih dan pertolongan Tuhan. Kita perlu menyadari bahwa kehidupan
pernikahan Kristen berbeda dengan bentuk-bentuk kehidupan bersama lainnya.
Kehidupan bersama dalam pernikahan Kristen lebih bersifat total, eksklusif /
tertutup, kontinyu / terus menerus dan didasari oleh kasih Kristus. Total,
artinya suami istri hidup dalam ikatan persekutuan yang mencakup seluruh sendi
kehidupan. Eksklusif, artinya tertutup terhadap relasi intim dengan laki-laki atau
perempuan lain. Kontinyu artinya komitmen tersebut dipegang dan diwujudkan
secara terus menerus sampai akhir hayat.
b.
Relasi Suami Istri dalam Keluarga Kristen
Tentang relasi suami-istri dalam keluarga, seringkali ada orang yang
mencomot ayat-ayat tertentu dalam Alkitab tanpa mencermati konteks ayat-ayat
tersebut ditulis. Ini dilakukan seringkali hanya untuk membenarkan sikap
superiornya terhadap pasangannya….
Padahal sesungguhnya Tuhan menetapkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan sejak dari awal penciptaan. Tuhan Yesus sendiri pun dalam
pelayanan-Nya selalu menempatkan perempuan sebagai sosok yang berharga,
meskipun masyarakat di sekitarnya mempunyai budaya yang sebaliknya.
Rasul Paulus dalam Galatia 3:25-28 menyatakan “Sebab kamu semua
adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua,
yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada
orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada
laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus
Yesus.“
Kalau kita memperhatikan kisah penciptaan (Kejadian 1 dan 2) kita akan
melihat bagaimana Allah menciptakan manusia sebagai mahkluk yang setara. Kej.
1:26-27 menyatakan “… Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka“. Dari ayat ini kita melihat bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan, meskipun mereka
berbeda jenis kelamin. Mereka berdua diberi tanggung jawab yang sama, yaitu
untuk bersama-sama menguasai, mengelola dan memanfaatkan bumi beserta segala
isinya yang telah Tuhan berikan kepada mereka (ay. 26).
Selanjutnya, Kejadian 2:18 juga bertutur tentang kesetaraan tersebut. Ayat 18 Tuhan berfirman “…
Aku akan menjadikan penolong yang sepadan dengan dia“.
Akhirnya Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki (ay.
21-23) untuk menjadi penolong yang sepadan bagi laki-laki.
Dalam hal ini, perempuan bukan pembantu bagi laki-laki. Namun perempuan
mempunyai kedudukan yang sama/setara dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat
dari istilah “penolong“ (ezer - bhs. Ibrani) yang dipakai dalam
teks-teks Alkitab. Istilah ini menunjuk pada penolong yang berkarakteristik
ilahi, yang menjadi saluran keselamatan bahkan kehidupan.
Dengan penggunaan istilah ini, maka Kejadian pasal 2 hendak mengatakan
bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang istimewa.. Ia
adalah makhluk yang berharga. Sedangkan
istilah “sepadan“ menunjuk pada kecocokan dalam perbedaan (kenegeddo,
counterpart). Dan istilah “diambil dari tulang rusuk laki-laki“ tidak boleh
dimaknai bahwa perempuan diambil dari bagian kecil dari laki-laki. Untuk
istilah ini bahasa Ibrani memakai istilah sisi atau bagian samping atau
separuh. Dengan demikian, perempuan adalah separuh bagian dari laki-laki.
Perempuan diciptakan dari separuh bagian laki-laki sehingga laki-laki harus
mengasihinya seperti ia mengasihi dirinya sendiri.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan ini harus diwujudkan dalam relasi
keduanya dan dalam mendidik anak-anak. Pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
dalam keluarga Kristen bukan hanya tanggung jawab seorang ibu saja, namun juga
tanggung jawab ayah. Peran kedua orangtua sangat dibutuhkan anak dalam proses pembentukan
karakternya secara holistik.
Dengan pemahaman bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berharga
di hadapan Allah, maka sepasang suami istri dapat hidup saling menghargai
meskipun mungkin tingkat pendidikan, kecerdasan maupun tingkat latar belakang kekayaannya berbeda-beda. Ini semua harus
dilakukan karena keduanya mempunyai kedudukan yang setara di hadapan Tuhan.
c.
Keluarga Sebagai Wadah Mencetak Generasi Penerus
Tidak semua pasangan dikaruniai anak kandung. Bahkan ada pasangan yang
sengaja tidak ingin punya anak dengan alasan tertentu.
Namun jikalau kita merenungkan kehidupan kita, maka kita akan mendapati
bahwa kehadiran “anak“ dalam kehidupan keluarga dapat memperkaya spiritualitas
kita. Banyak anak yang terlantar yang membutuhkan uluran tangan kasih kita
untuk berbagi kasih. Ketika kita melihat anak-anak kecil, hati kita seakan
diarahkan pada tanggung jawab untuk menghantar mereka menuju masa depan mereka.
Oleh karena itu, baik kalau kita menanamkan konsep bahwa keluarga Kristen
adalah wadah mencetak generasi penerus, entah itu anak sendiri (kandung) maupun
yang bukan. Ini adalah mandat dari Tuhan sendiri seperti yang tertulis dalam Kej.
1:28. Dengan konsep ini kita sadar bahwa kita mempunyai tanggung jawab yang
besar dalam mencetak generasi penerus kita di bumi ini. Dan itu harus dilakukan
dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Namun, mendidik anak bukan sesuatu yang mudah. Iklim keluarga yang baik
sangat dibutuhkan oleh anak dalam tumbuh kembang mereka. Iklim ini dibentuk
melalui relasi orang-orang yang ada dalam keluarga. Sejak anak berusia tiga
bulan dalam kandungan, ia sudah bisa merasakan, mendengar dan mengecap
stimulus-stimulus yang ia tangkap dari sekelilingnya, baik dari si ibu maupun
si ayah dan orang-orang di sekeliling keluarga tersebut. Keharmonisan keluarga sangat dibutuhkan oleh anak dalam tumbuh kembang mereka
sejak dari bayi dalam kandungan, dan itu akan berpengaruh pada keseluruhan
rangkaian kehidupan seseorang. Orangtua adalah lapisan pertama dalam pembentukan kerohanian seorang anak.
.
d. Masing-masing Orang Dalam
Keluarga Adalah Unik
Tiap
orang adalah unik, termasuk orang-orang yang ada dalam keluarga Kristen: Baik itu Orang tua – anak , Suami – isteri dsb.
Keunikan
tersebut tidak hanya terkait dengan karakter tetapi juga latar belakang dari
suami istri yang ada dalam keluarga tersebut. Dengan sangat gamblang, sebuah
buku kursus persiapan pernikahan gerejawi mengetengahkan bahwa antara laki-laki
dan perempuan tidak hanya perbedaan fisiologis/biologis/anatomis namun juga
perbedaan psikologis.
Walaupun
perbedaan psikologis yang dipaparkan di situ tidaklah mutlak, namun kita bisa
melihat bahwa masing-masing mempunyai karakter yang harus dipahami oleh anggota
keluarga yang lain sehingga dapat saling menghargai dan saling
mengembangkannya. Dengan memahami bahwa baik suami, istri maupun anak-anak
adalah pribadi yang unik yang mempunyai karakter yang khas, maka diharapkan
agar setiap anggota keluarga dapat silih asah, silih asuh dan silih asih.
Untuk
dapat hidup bersama dengan baik walau berbeda, dibutuhkan keterbukaan (baik
kepada Tuhan maupun kepada orang lain), komunikasi yang baik, maupun kasih
harus dikembangkan terus menerus. Komunikasi dapat berjalan dengan baik, jika
ada suasana yang mendukungnya, antara lain sikap mau memerhatikan, mementingkan
pasangan, mau menyediakan waktu, mau mendengarkan, mau menerima, dan kasih yang
tulus. Komunikasi yang baik juga harus didasari dengan doa bersama.
Dalam
membicarakan hal-hal yang agak peka, maka lebih baik jika dipakai kata “saya”
daripada “kamu”. Dengan menggunakan kata “saya”, kita diajak untuk lebih
mengutarakan perasaan kita sendiri, bukan menuduh orang lain. Selain itu, kita
perlu menghindari penggunaan kata “selalu” dan “tak pernah”, karena kedua kata
ini pasti akan menimbulkan reaksi membela diri dari lawan bicara kita. Agar ada
komunikasi yang baik dalam kehidupan keluarga, maka baik kalau setiap hari kita
saling mengucapkan sepatah kata manis atau pujian, minimal sekali dalam sehari.
e.
Kasih Sebagai Dasar Hidup Keluarga Kristen
Kasih dan iman kepada Kristus harus menjadi dasar bagi kehidupan rumah
tangga Kristen. Kasih yang dimaksud di sini
bukan hanya kasih agape seperti yang diteladankan Kristus, tetapi juga kasih
eros dan kasih filia (take and give).
Ketiganya harus ada dalam kehidupan rumah tangga Kristen. Kasih eros dan filia dalam praktiknya harus dikendalikan oleh kasih agape
dan kasih Tuhan. Jikalau tidak demikian maka hubungan suami istri akan cepat
membosankan. Seorang suami atau istri bisa mencari kesenangannya sendiri dan
akhirnya tidak setia kepada pasangannya.
Kadang orang mengabaikan kasih eros, apalagi jika mereka sedang sibuk
mengurusi anak atau semakin menjadi lebih tua. Kesibukan mengurus bayi dan
anak-anak balita, kadang menjadikan seorang perempuan menjadi enggan untuk
berhubungan seks dengan suaminya. Jikalau suaminya tidak bijaksana dan tidak meletakkan semuanya dalam kasih
agape dan kasih Tuhan, maka bisa memunculkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu kasih eros juga harus terus dikembangkan, meskipun tidak harus
selalu sampai kepada hubungan badan (coitus).
f.
Manajemen Ekonomi dan Waktu Dalam Rumah Tangga Kristen
Ekonomi dan waktu bukanlah hal sepele dalam kehidupan rumah tangga,
termasuk rumah tangga Kristen. Perlu ada pengaturan dan manajemen yang baik
sehingga kebutuhan keluarga, baik kebutuhan material maupun imaterial,
tercukupi dengan baik. Orang harus bekerja dengan baik dan mengelola keuangan
keluarga berdasarkan pemeliharaan dan pimpinan Tuhan. Kebutuhan yang ada dalam
keluarga dibicarakan dan diupayakan secara bersama-sama. Ada keseimbangan
antara penerimaan dan pengeluaran, sehingga pengeluaran tidak lebih besar dari
pada pemasukan.
Demikian pula waktu harus dikelola dengan baik sehingga ada keseimbangan
antara bekerja dan keluarga. Seringkali orang hanya bekerja dan bekerja dan
mengabaikan keluarganya. Padahal uang tidaklah ada harganya jikalau kita dan keluarga
kita tidak bahagia. Uang tidak akan bisa membahagiakan kita jikalau tidak ada
kasih dan perhatian dalam rumah tangga kita. Uang memang bisa memberikan
kebahagiaan. Tetapi uang tanpa kasih hanya akan memberikan kebahagiaan yang
semu.
g.
Keluarga Kristen adalah Keluarga Yang Beribadah dan Bersosialisasi
Setelah
menikah, kadang orang kemudian tidak terlalu peduli dengan ibadah, apalagi
kalau sibuk dengan pekerjaan dan mengurus anak-anak. Keluarga menjadi semakin
lama semakin jauh dari Tuhan sehingga kebahagiaan pun menjadi semakin jauh
darinya.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Gallup-Healthways Well-Being. Hasil survey mereka menyatakan bahwa orang yang paling bahagia ialah orang-orang yang rajin beribadah dan mengunjungi rumah ibadah.
Selain beribadah, keluarga Kristen juga mesti bersosialisasi dengan orang-orang / masyarakat di sekelilingnya. Ini tidak hanya untuk mengembangkan kecerdasan sosial kita dan anak-anak, tetapi juga sebagai sarana mengabarkan kabar sukacita. Injil/kabar sukacita yang kita percayai dan hidupi tidak akan dikenal orang lain, jikalau kita tidak pernah berelasi dan berkomunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita. Romo Mardi Prasetya menyebut ini sebagai dimensi sosial dan dimensi apostolis/kerasulan yang harus dimiliki oleh keluarga Kristen.
Penutup
Tidak
ada satu pun keluarga yang tanpa masalah, tanpa perbedaan pendapat dan
perselisihan. Namun semua bisa
diselesaikan dengan baik, jikalau Kristus sungguh ada dan dihidupi di dalam
rumah tangga Kristen. Dengan hadirnya Kristus dalam rumah tangga kita maka
segala persoalan dan hambatan yang dialami dalam keluarga dapat diatasi dengan
baik.
Dengan
Kristus ada dalam rumah tangga kita, kekerasan tidak akan terjadi dalam
keluarga kita. Tuhan Yesus berkata, “Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39).
“Karena
itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya,
kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan
kesabaran” (Kolose 3:12).
SARASEHAN:
APA & BAGAIMANA TANGGAPAN KITA
TERHADAP POKOK BAHASAN TSB.
MENGAPA DEMIKIAN ? JELASKAN !
BERIKAN USULAN -USULAN KONKRIT, AGAR
DI GEREJA KITA /GKJ PURWOREJO ADA PROGRAM GEREJA
DALAM RANGKA PENINGKATAN
/ PEMBERDAYAAN KELUARGA KELUARGA
KRISTEN !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar