01. Mitoni tidak
dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, orang Jawa biasanya memilih hari yang
dianggap baik yaitu di hari Selasa atau dalam hitungan Jawa jatuhnya di hari
Senin siang sampai malam, dan hari baik selanjutnya yaitu hari Sabtu atau dalam
hitungan Jawa jatuh pada hari Jumat siang sampai malam.
Secara
etimologi, mitoni berasal dari kata pitu yang berarti
tujuh. Biasanya, tradisi ini dilakukan pada saat usia kehamilan telah menginjak
7 bulan. Angka
tujuh atau “pitu” dalam bahasa Jawa, dari kerangka “othak-athik” atau “gathuk-mathuk”-nya
orang Jawa bisa dimaknai sebagai “pituduh” atau
bahasa Indonesianya bermakna “petunjuk” namun bisa berarti juga “pitulungan”
Yakni sebuah “petunjuk” akan arah
yang akan dituju. oleh karenanya banyak simbolisasi dan makna atas angka ini
disematkan padanya.
Sebut saja tentang penciptaan alam
semesta, yang dicipta dalam 7 hari oleh TUHAN (Kej 2:1-3) ,
atau pada hari Sabbath (hari ketujuh) dalam
tradisi Alkitab (baca: hari perhentian), atau fi
sittati ayyam dalam bahasa Al-Quran-nyaAtau juga terkait
simbolisasi langit berlapis tujuh (ber-sap tujuh) untuk menujuk sistem lapisan
langit dan jagad kita yang dalam filosofi Jawa dikenal sebagai “sapta
petala langit” (tujuh lapis langit yang menyelubungi jagad kita).Tak
heran ada tujuh hari yang merupakan fase lingkaran siklis perjalanan waktu (cakra-manggilingan).
Itulah sebabnya MITONI (dengan
segala bentuknya) – dari yang biasa hingga yang lengkap an mahal – tetap
dilakukan oleh Orang jawa sebagai DOA kepada Tuhan; dengan tujuan
agar calon ibu dan calon bayi mendapatkan keselamatan sejak dalam kandungan
hingga tumbuh dewasa di dalam naungan Tuhan yang maha kuasa. Mitoni adalah
kesadaran teologis bahwa manusia membutuhkan karunia keselamatan dari Tuhan,
sejak manusia masih dalam kandungan
“Beginilah
firman Tuhan yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau sejak dari
kandungan dan yang menolong engkau:” Yesaya 44:2
“Ya, Engkau yang me-ngeluarkan aku dari
kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.” Mazmur 22:10
Dalam perspektif ini, MITONI perlu dirawat dan
dilestarikan.
02. Perlengkapan dalam
mitoni, antara lain terdapat “sesaji” atau “sesajen” yang menurut kepercayaan
masyarakat Jawa, merupakan bentuk ucapan rasa syukur serta penghormatan
pada leluhur, kepada alam dan khususnya kepada Sang Pencipta. Pada saat mitoni ada beberapa macam jenang yang dijadikan
pelengkap, yakni jenang abang, jenang putih, jenang kuning, jenang ireng,
jenang waras, dan jenang sengkolo. Sejarah dan asal-usul tentang jenang juga tercatat
dalam kitab kuno. dalam Serat Lubdaka karya Empu Tanakung.
Salah satu jenis jenang yang populer
ada jenang sumsum. jenis jenang ini terbuat dari beras putih yang dicampur
dengan beras ketan putih di atasnya. Warnanya yang putih diyakini sebagai
simbol kebersihan hati dan kesejahteraan; dipercaya akan mendatangkan
kesehatan, berkah dan kekuatan.
Jenang adalah symbol Kehidupan; maka
jangan cari jenang pada saat peringatan kematian. Pasti tidak ada!.
Salah satu yang penting dalam
Mitoni ada jenang procotan yang
biasanya disajikan di acara selamatan ibu hamil atau tujuh bulanan. Jenang ini
diyakini sebagai simbol keselamatan dan kelancaran ibu hamil.
Selain itu, mitoni juga menggunakan sajian tumpeng,
lauk pauk pelengkap, buah-buahan, kembang setaman, serta berbagai jenis
dedaunan. Makna
“tumpeng”, dalam sistem operasi “jarwa-dhosok”, diberi makna dalam bahasa Jawanya
sebagai “Tum(uju) (ing) Peng(eran)”
alias berarti “menuju atau ditujukan kepada Tuhan”.
03. Menarik. Tradisi
mitoni di beberapa daerah memiliki rangkaian acara yang berbeda-beda. Umumnya
mitoni diawali dengan upacara siraman. Tujuannya untuk membersihkan kotoran
yang melekat pada tubuh ibu hamil serta dapat membersihkan hati dan jiwa.
Siraman dalam istilah Jawa bertujuan untuk ngruwat sukerta atau
membuang kesialan. Air yang diambil berasal dari 7 sumur berbeda. Sebenarnya,
hal ini dilakukan sebagai edukasi kepada masyarakat agar lebih mencintai dan
merawat bumi dengan baik, diantaranya menjaga sumber mata air.
Kemudian, ganti busana atau pakaian sebanyak 7 kali.
Setiap berganti pakaian, tetua akan menanyakan kepada tamu undangan “wis
pantes durung?” atau “sudah pantas belum?.” Kemudian, tamu undangan
akan menjawab “durung” atau “belum” sampai pada kain yang
terakhir atau ketujuh.
Selanjutnya, prosesi brojolan, yakni melepaskan dua
buah kelapa muda gading. Kelapa tersebut diberi gambar tokoh wayang Kamajaya
dan Kamaratih. Keduanya melambangkan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.
Perumpamaan dalam buah kelapa gading juga menjadi simbol bahwa orang tua sudah
siap menerima apapun jenis kelamin buah hati mereka. Selain itu, acara ini
memiliki makna supaya nantinya bayi dapat terlahir dengan lancar dan selamat.
04. Sebagai
penutup acara, diadakan dodol atau jualan dawet dan rujak. Upacara dodol dawet
merupakan rangkaian upacara terakhir pada mitoni. Upacara ini dilakukan oleh
calon eyang putri dan eyang kakung. Alat yang digunakan pada proses ini adalah
dawet, pecahan genting sebagai pengganti uang. Senik atau tempat uang dan
payung. Acara dodol dawet dilakukan oleh eyang kakung dan eyang putri. Mereka
mengenakan baju Mataram lengkap. Eyang putri menggendong tempat uang sedangkan
eyang kakung memayungi eyang putri. Tempat
untuk dodol dawet berada di depan rumah atau tritisan. Para tamu membeli dawet
dengan memakai uang dari pecahan genting atau kreweng yang sudah disediakan.
Para pembeli dawet berkata “ngalap berkah”.
Dodol rujak
dilakukan oleh calon ibu dengan membawa wadah untuk menampung hasil jualan,
didampingi suaminya. Aneka macam buah-buahan, (biasanya 7 macam) seperti nanas, mangga muda, belimbing, bengkuang,
kedondong, jambu, dicampur dengan bumbu bercita rasa asam, manis, pedasUang
yang digunakan berupa kreweng atau potongan tanah liat. Berbentuk menyerupai uang koin dan terbuat dari
tanah liat, kereweng memberi makna bahwa kehidupan manusia pada dasarnya
dimulai dan dinafkahi dari bumi. Mengingat awal mula kereweng berasal dari
pecahan genting, tamu undangan yang tidak kebagian kereweng juga dapat membayar
dengan pecahan genting yang berada di sekitar. Unik! Pelajaran pentingnya: Jangan melupakan Alam sekitar
anugerah Tuhan, di mana kita tinggal dan hidup Bersama.
05.
Mengingat makna dan filosofi yang termuat dalam tradisi ini
sangat baik, maka kita wajib untuk melestarikannya. Bukankah kit aini Komunitas Gereja Kristen
Jawa ? Agar tradisi mitoni tetap ada
dan bisa diturunkan ke generasi selanjutnya. Sebab, merawat tradisi ini berarti
ikut menjaga kebudayaan Jawa.
Materi ini Disampaikan oleh Pdt. Lukas Eko Sukoco, MTh., PC. pada saat
Bidstond Syukur & Sarasehan Malem Selasa Kliwon Keluarga Besar Bp Ibu Y. Suparno (23 Januari 2023)
Salam Rahayu…. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar