Minggu, 22 Januari 2023

Merawat Tradisi MITONI (bersama Ki Lukas E. Sukoco Rekso Budoyo)

 


01. Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, orang Jawa biasanya memilih hari yang dianggap baik yaitu di hari Selasa atau dalam hitungan Jawa jatuhnya di hari Senin siang sampai malam, dan hari baik selanjutnya yaitu hari Sabtu atau dalam hitungan Jawa jatuh pada hari Jumat siang sampai malam.

Secara  etimologi, mitoni berasal dari kata pitu yang berarti tujuh. Biasanya, tradisi ini dilakukan pada saat usia kehamilan telah menginjak 7 bulan.  Angka tujuh atau “pitu” dalam bahasa Jawa, dari kerangka “othak-athik” atau “gathuk-mathuk”-nya orang Jawa bisa dimaknai sebagai “pituduh” atau bahasa Indonesianya bermakna “petunjuk” namun bisa berarti juga “pitulungan”  Yakni sebuah “petunjuk” akan arah yang akan dituju. oleh karenanya banyak simbolisasi dan makna atas angka ini disematkan padanya.

 

Sebut saja tentang penciptaan alam semesta, yang dicipta dalam 7 hari oleh TUHAN (Kej 2:1-3) , atau pada hari Sabbath (hari ketujuh) dalam tradisi Alkitab (baca: hari perhentian), atau fi sittati ayyam dalam bahasa Al-Quran-nyaAtau juga terkait simbolisasi langit berlapis tujuh (ber-sap tujuh) untuk menujuk sistem lapisan langit dan jagad kita yang dalam filosofi Jawa dikenal sebagai sapta petala langit” (tujuh lapis langit yang menyelubungi jagad kita).Tak heran ada tujuh hari yang merupakan fase lingkaran siklis perjalanan waktu (cakra-manggilingan).

 

Itulah sebabnya MITONI (dengan segala bentuknya) – dari yang biasa hingga yang lengkap an mahal – tetap dilakukan oleh Orang jawa sebagai DOA kepada Tuhan; dengan tujuan agar calon ibu dan calon bayi mendapatkan keselamatan sejak dalam kandungan hingga tumbuh dewasa di dalam naungan Tuhan yang maha kuasa. Mitoni adalah kesadaran teologis bahwa manusia membutuhkan karunia keselamatan dari Tuhan, sejak manusia masih dalam kandungan  

“Beginilah firman Tuhan yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau sejak dari kandungan dan yang menolong engkau:” Yesaya 44:2

“Ya, Engkau yang me-ngeluarkan aku dari kandungan; Engkau yang membuat aku aman pada dada ibuku.” Mazmur 22:10

  

Dalam perspektif ini, MITONI perlu dirawat dan dilestarikan.

 

02. Perlengkapan dalam mitoni, antara lain terdapat “sesaji” atau “sesajen” yang menurut  kepercayaan masyarakat Jawa, merupakan bentuk ucapan rasa syukur serta penghormatan pada leluhur, kepada alam dan khususnya kepada Sang Pencipta.   Pada saat mitoni ada  beberapa macam jenang yang dijadikan pelengkap, yakni jenang abang, jenang putih, jenang kuning, jenang ireng, jenang waras, dan jenang sengkolo.  Sejarah dan asal-usul tentang jenang juga tercatat dalam kitab kuno. dalam Serat Lubdaka karya Empu Tanakung. 

Salah satu jenis jenang yang populer ada jenang sumsum. jenis jenang ini terbuat dari beras putih yang dicampur dengan beras ketan putih di atasnya. Warnanya yang putih diyakini sebagai simbol kebersihan hati dan kesejahteraan; dipercaya akan mendatangkan kesehatan, berkah dan kekuatan.  

Jenang adalah symbol Kehidupan; maka jangan cari jenang pada saat peringatan kematian. Pasti tidak ada!.

Salah satu yang penting dalam Mitoni  ada jenang procotan yang biasanya disajikan di acara selamatan ibu hamil atau tujuh bulanan. Jenang ini diyakini sebagai simbol keselamatan dan kelancaran ibu hamil.


Selain itu, mitoni juga menggunakan sajian tumpeng, lauk pauk pelengkap, buah-buahan, kembang setaman, serta berbagai jenis dedaunan.  Makna “tumpeng”, dalam sistem operasi “jarwa-dhosok”, diberi makna dalam bahasa Jawanya sebagai “Tum(uju) (ing) Peng(eran)” alias berarti “menuju atau ditujukan kepada Tuhan”.

03. Menarik. Tradisi mitoni di beberapa daerah memiliki rangkaian acara yang berbeda-beda. Umumnya mitoni diawali dengan upacara siraman. Tujuannya untuk membersihkan kotoran yang melekat pada tubuh ibu hamil serta dapat membersihkan hati dan jiwa. Siraman dalam istilah Jawa bertujuan untuk ngruwat sukerta atau membuang kesialan. Air yang diambil berasal dari 7 sumur berbeda. Sebenarnya, hal ini dilakukan sebagai edukasi kepada masyarakat agar lebih mencintai dan merawat bumi dengan baik, diantaranya menjaga sumber mata air. 

Kemudian, ganti busana atau pakaian sebanyak 7 kali. Setiap berganti pakaian, tetua akan menanyakan kepada tamu undangan “wis pantes durung?” atau “sudah pantas belum?.” Kemudian, tamu undangan akan menjawab “durung” atau “belum” sampai pada kain yang terakhir atau ketujuh.  

Selanjutnya, prosesi brojolan, yakni melepaskan dua buah kelapa muda gading. Kelapa tersebut diberi gambar tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih. Keduanya melambangkan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Perumpamaan dalam buah kelapa gading juga menjadi simbol bahwa orang tua sudah siap menerima apapun jenis kelamin buah hati mereka. Selain itu, acara ini memiliki makna supaya nantinya bayi dapat terlahir dengan lancar dan selamat.

04. Sebagai penutup acara, diadakan dodol atau jualan dawet dan  rujak.    Upacara dodol dawet merupakan rangkaian upacara terakhir pada mitoni. Upacara ini dilakukan oleh calon eyang putri dan eyang kakung. Alat yang digunakan pada proses ini adalah dawet, pecahan genting sebagai pengganti uang. Senik atau tempat uang dan payung. Acara dodol dawet dilakukan oleh eyang kakung dan eyang putri. Mereka mengenakan baju Mataram lengkap. Eyang putri menggendong tempat uang sedangkan eyang kakung memayungi eyang putri. Tempat untuk dodol dawet berada di depan rumah atau tritisan. Para tamu membeli dawet dengan memakai uang dari pecahan genting atau kreweng yang sudah disediakan. Para pembeli dawet berkata “ngalap berkah”.

Dodol rujak dilakukan oleh calon ibu dengan membawa wadah untuk menampung hasil jualan, didampingi suaminya. Aneka macam buah-buahan, (biasanya 7 macam)  seperti nanas, mangga muda, belimbing, bengkuang, kedondong, jambu, dicampur dengan bumbu bercita rasa asam, manis, pedasUang yang digunakan berupa kreweng atau potongan tanah liat.  Berbentuk menyerupai uang koin dan terbuat dari tanah liat, kereweng memberi makna bahwa kehidupan manusia pada dasarnya dimulai dan dinafkahi dari bumi. Mengingat awal mula kereweng berasal dari pecahan genting, tamu undangan yang tidak kebagian kereweng juga dapat membayar dengan pecahan genting yang berada di sekitar. Unik!  Pelajaran pentingnya: Jangan melupakan Alam sekitar anugerah Tuhan, di mana kita tinggal dan hidup Bersama.

05.    Mengingat makna dan filosofi yang termuat dalam tradisi ini sangat baik, maka kita wajib untuk melestarikannya.  Bukankah kit aini Komunitas Gereja Kristen Jawa ?   Agar tradisi mitoni tetap ada dan bisa diturunkan ke generasi selanjutnya. Sebab, merawat tradisi ini berarti ikut menjaga kebudayaan Jawa. 

Materi ini Disampaikan oleh Pdt. Lukas Eko Sukoco, MTh., PC. pada saat Bidstond Syukur & Sarasehan Malem Selasa Kliwon Keluarga Besar  Bp Ibu Y. Suparno  (23 Januari 2023)

Salam Rahayu…. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar